BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Hutan
mangrove merupakan vegetasi pantai yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut dan
pantai berlumpur. Hutan mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh pada tanah lumpur
aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang masih dipengaruhi pasang surut
air laut....(Soerianegara dalam Noor, 2006).
Hutan
mangrove tersebar di beberapa negara. Indonesia merupakan negara yang
memiliki hutan mangrove terluas di dunia dan tersebar di
beberapa pulau seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan
Kepulauan Maluku. Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 sekitar 4,25
juta Ha dan pada tahun 1985 sekitar 3,24 juta Ha. Hasil survei akhir pada tahun
1995 menyebutkan bahwa luas hutan mangrove Indonesia tersisa 2,06 juta Ha
(Arief, 2003).
Luas hutan mangrove di Indonesia makin lama semakin
berkurang, hal ini disebabkan adanya kegiatan manusia yang berpengaruh terhadap
ekosistem mangrove. Ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu
(1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor
lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan (Kusmana dalam Zaitunah, 2005).
Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki tingkat
keanekaragaman spesies yang tertinggi didunia. Di Indonesia tercatat sebanyak
202 spesies mangrove yang terdiri atas 89 spesies pohon, 5 spesies palem, 19
spesies liana, 44 spesies herba, 44 spesies epifit dan 1 spesies paku (Noor,
2006). Dari 202 spesies mangrove tersebut, tersebar di beberapa pulau, yang
pola penyebarannya ditentukan oleh adaptasi mangrove terhadap lingkungan.
Mangrove
memiliki kemampuan adaptasi yang
khas terhadap lingkungan, yaitu (1) adaptasi terhadap kadar oksigen rendah,
menyebabkan mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas (bertipe cakar ayam, dan bertipe penyangga) misalnya Avecennia
sp., Xylocarpus., Sonneratia sp., dan Rhizophora sp.,
(2) adaptasi terhadap kadar garam yang tinggi; dengan memiliki sel-sel khusus
pada daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, berdaun tebal dan kuat yang
banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam dan memiliki struktur
stomata khusus untuk mengurangi penguapan, dan (3) adaptasi terhadap tanah yang
kurang stabil dan adanya pasang surut, dengan cara mengembangkan struktur akar
yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horisontal yang lebar (Bengen,
2002).
Kemampuan adapatasi mangrove terhadap
lingkungan menentukan adanya zona yang berbeda untuk setiap spesies. Mangrove
tumbuh dalam empat zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang
memiliki sungai berair payau sampai hampir
tawar, dan daerah yang memiliki air tawar (Noor, 2006). Berdasarkan
penggenangan air, mangrove dapat tumbuh dalam 3 zona, yaitu zona proksimal yaitu kawasan yang dekat
dengan laut, zona midle yaitu zona
yang terletak antara laut dan darat, dan zona distal yaitu zona yang terjauh dari laut (Arief, 2003).
Pada setiap zona ditemukan spesies
mangrove yang berbeda-beda. Pada zona proksimal
ditemukan spesies Rhizophora apiculata,
Rhizophora mucuranata dan Sonneratia
alba, zona midle ditemukan
mangrove spesies Sonneratia caseolaris,
Brugiera gymnorrhiza, Avicennia marina, Avicennia officianalis dan Ceriops tagal, sedangkan pada zona distal ditemukan spesies Heritiera litorralis, Pongamia, Pandanus sp.,
dan Hibiscus tiliaceus (Arief, 2007).
Sebagai suatu
ekosistem di wilayah pesisir, hutan mangrove mempunyai fungsi yang bersifat
ganda dalam menunjang perkembangan serta kelestarian potensi sumber daya alam
lainnya. Fungsi hutan mangrove dapat dipandang dari beberapa segi yaitu dari
segi ekonomi, fisik, dan dari segi biologi yang fungsinya sangat potensial.
Fungsi mangrove
secara ekonomis meliputi hasil hutan sebagai kayu, tempat rekreasi, dan sebagai
bahan baku industri, sedangkan fungsi fisik hutan mangrove yaitu melindungi
daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan angin kencang, serta
fungsi hutan mangrove secara biologis meliputi tempat mencari makan, tempat
memijah dan tempat berkembang biak berbagai spesies ikan, udang, kerang, dan
biota laut lainnya.
Mengingat pentingnya hutan mangrove dalam mempertahankan
dan meningkatkan produksifitas biota laut, maka usaha konservasi hutan mangrove
merupakan hal yang harus diperhatikan. Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya
kerusakan hutan mangrove yang cukup memprihatinkan.
Namun demikian pengelolaan hutan
mangrove di Propinsi Gorontalo, belum mendapat perhatian yang serius dari
pemerintah daerah dalam konservasi hutan mangrove, hal ini dapat diamati pada
salah satu daerah kabupaten Boalemo kecamatan Botumoito desa Hutamonu, yang
merupakan daerah dalam kawasan hutan lindung untuk pelestarian teluk Tomini. Pada
wilayah ini hutan mangrove di pinggir pantai memiliki kerapatan rata-rata 150
meter kearah laut (Data sekunder Kantor Desa Hutamonu).
Keanekaragaman spesies mangrove di Propinsi Gorontalo
cukup tinggi. Spesies mangrove yang ditemukan antara lain dari famili
Rhizophoraceae (Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Rhizophora
stylosa, Ceriops tagal, Bruguiera gymnorrhyza), Avicenniaceae (Avicennia
marina, Avicennia lanata), Sonneratiaceae (Sonneratia alba), Palmae
(Nypa fruticans), Malvaceae (Thespesia populnea) dan Aizoaceae (Sesuvium
portuculastrum) (Risnandar, 2009).
Berdasarkan hasil wawancara dengan
Dinas Kehutanan Kabupaten Boalemo tentang hutan mangrove yang ada di kawasan
Desa Hutamonu bahwa di wilayah tersebut telah dilakukan penanaman bibit
mangrove, namun mengenai spesies mangrove yang tumbuh dan yang mendominasi di
wilayah tersebut, dinas terkait belum dapat memberikan informasi yang jelas.
Hal ini disebabkan belum adanya data tentang keanekaragaman mangrove yang ada
di kawasan tersebut, (Data Sekunder Kantor Kehutanan Boalemo, 2010). Untuk
dapat mengetahui keanekaragaman mangrove tersebut maka perlu dilakukan analisis
vegetasi.
Analisis vegetasi tumbuhan merupakan
cara mempelajari susunan (komposisi spesies) dan bentuk (struktur) vegetasi
(Indriyanto, 2006 dan Irwanto, 2007). Analisis vegetasi diperlukan data-data
kuantitatif untuk menentukan indeks nilai penting dan indeks keanekaragaman
dari penyusun komunitas hutan sehingga dapat diperoleh informasi kuantitatif
tentang struktur, kemelimpahan spesies, distribusi vegetasi dalam suatu
ekosistem, serta hubungan keberadaan tumbuhan dengan faktor lingkungannya.
Analisis vegetasi mangrove dapat mendukung
kegiatan konservasi khususnya dalam hal pengambilan data menyangkut ciri-ciri
ekologi hutan mangrove dan keanekaragamannya agar kebijakan yang diambil
terhadap hutan mangrove dapat berjalan dengan baik.
Berdasarkan uraian tersebut, maka judul
dalam penelitian ini ialah“Struktur
Vegetasi Hutan Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo”.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini ialah bagaimana struktur vegetasi hutan mangrove yang
terdapat di kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo ?
1.3 Tujuan
Penelitian
Adapun yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur vegetasi
hutan mangrove yang terdapat di kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo.
1.4 Manfaat
Penelitian
Dari penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain:
1. Sebagai bahan
masukan pada mata kuliah Botani Tumbuhan Tinggi dan Ekologi Tumbuhan serta
sebagai sumber informasi lanjutan bagi mahasiswa Jurusan Biologi.
2. Dapat
memberikan informasi ilmiah tentang struktur vegetasi hutan mangrove yang
terdapat di kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo.
3. Sebagai bahan informasi
bagi Instansi atau Dinas Kehutanan Propinsi Gorontalo Kabupaten Boalemo dan
masyarakat tentang pentingnya hutan mangrove sebagai suatu wilayah pesisir
pantai.
BAB
II
KAJIAN
TEORI
2.1 Tinjauan
Umum Hutan Mangrove
Mangrove
merupakan kombinasi antara kata Mangue (bahasa
Portugis) yang berarti tumbuhan dan Grove
(bahasa Ingris) yang berarti belukar (Arief, 2003), selanjutnya menurut
Mastaller (dalam Noor, 2006) bahwa “Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu
kuno yaitu mangi-mangi yang digunakan untuk menerangkan marga Avecennia”.
Berdasarkan SK
Dirjen Kehutanan No.60/Kpts/Dj./1/1978 (dalam Arief, 2003) bahwa “Mangrove
dikatakan sebagai hutan yang terdapat disepanjang pantai dan muara sungai yang
masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada saat pasang
dan bebas genangan pada saat surut”. Selanjutnya menurut Kitamura (2003) menyatakan bahwa “Mangrove merupakan tumbuhan tropis dan komunitasnya di
daerah pasang surut”. Daearah pasang surut merupakan daerah yang mendapat
pengaruh pasang surut dan terletak disepanjang garis pantai, termasuk tepi
laut, muara sungai dan teri sungai.
Berdasarkan
uraian tersebut, hutan
mangrove dapat dikatakan sebagai vegetasi pantai
tropis dan sub-tropis yang didominasi oleh beberapa
spesies mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, lumpur dan berpasir. Namun demikian tidak semua
pantai ditumbuhi mangrove, karena untuk pertumbuhannya memiliki persyaratan,
antara lain adalah kondisi pantainya terlindung dan relatif tenang, landai dan
mendapat sedimen dari muara sungai.
Wilayah pesisir adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut dimana bagian daratnya masih dipengaruhi oleh
sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan
air lautnya masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi aliran air tawar dan semua kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan, pencemaran dan sebagainya.
Hutan mangrove
sering kali disebut hutan bakau. Bakau sebenarnya hanya salah satu spesies
tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu spesies Rhizophora sp yang merupakan spesies yang mendominasi hutan
mangrove. Meskipun demikian penggunaan istilah hutan bakau untuk menggambarkan
hutan mangrove kurang tepat karena dalam kawasan hutan mangrove terdapat
beberapa spesies yang berasosiasi di dalamnya.
Terdapat beberapa spesies mangrove
yang menyusun vegetasi mangrove termasuk dalam genus Rhizophora, Sonneratia, Xylocarpus, Avicennia dan dari suku palma
seperti Nypa fructicans (Arief, 2003). Berikut ini
beberapa ciri morfologi dari setiap spesies tumbuhan mangrove dengan melihat
karakteristik morfologi akar, daun, bunga dan buah yaitu:
1.
Rhizophora
mucronata Lamk
Bakau/Bakau Besar (Black Mangrove). Merupakan salah satu spesies mangrove yang banyak
digunakan masyarakat untuk mengambil kayunya sebagai bahan keperluan rumah
tangga. Untuk daerah Gorontalo lebih mengenal spesies tumbuhan ini dengan nama
Wuwaata Hutihu.
Bakau merupakan spesies mangrove yang
umum dijumpai karena penyebaranya yang luas. Spesies ini dapat tumbuh mencapai
25 meter dan berakar tunjang. Bentuk daunnya lebar dengan panjang mencapai
15-20 cm, berwarna hijau kekuningan, terdapat bercak hitam kecil yang menyebar
pada permukaan bawah daun.
Bunga berwarna putih dengan rangkaian
bunga 4-8 kelopak bunga yang terletak diketiak daun dan berukuran kecil.
Buahnya berbentuk memanjang dengan ukuran mencapai 50-70 cm dan meruncing pada
bagian ujungnya. Kulit batang berwarna coklat sampai abu-abu gelap dengan
permukaan yang kasar. Akar berbentuk tongkat yang keluar dari batang dan
memiliki lentisel untuk pernapasan (Noor, 2006).
2.
Rhizophora
apiculata Blume
Bakau (Tall Stilted Mangrove), daerah Gorontalo mengenal spesies tanaman
ini dengan istilah Wuwaata Boyuhu. Spesies ini dapat tumbuh hingga mencapai
ketinggian 15 m pada habitat yang baik dengan sistim perakaran berupa akar
tunjang.
Daun sebelah atas berwarna hijau sampai
kuning kehijauan, bagian bawahnya hijau kekuningan dan memiliki bintik-bintik
hitam kecil yang menyebar diseluruh permukaan bawah daun. Panjang daun antara
9-18 cm dan berbentuk elips. Bunganya selalu kembar dengan panjang kelopak
antara 12-14 mm, lebarnya antara 9-10 mm, berwarna orens kekuningan. Panjang
buahnya berkisar antara 20-25 cm berdiameter 1,3-1,7 cm, buah berwarna hijau
sampai kecoklatan dan kulit buah kasar (Kitamura, 2003).
3.
Sonneratia alba J.E.Smith./S. Caseolaris (L.) Eng
Pedada/Bogem (Mangrove Apple). Spesies tanaman ini dalam bahasa daerah Gorontalo
dikenal dengan istilah Tamentao. Tumbuhan mangrove spesies ini yang paling
banyak dijumpai adalah Sonneratia alba.
Spesies ini biasanya tumbuh bersama dengan Sonneratia
caseolaris, sehingga sulit untuk membedakan kedua spesies ini. Salah satu
cara yang sering dilakukan adalah dengan melihat bunganya. Spesies Sonneratia alba dan Sonneratia caseolaris dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 16
meter. Sonneratia caseolaris memiliki
akar napas dengan kulit kayu halus dan Sonneratia
alba berakar banir dan akar papan dengan kulit kayu halus dan berwarna
coklat.
Susunan daun tunggal bersilang dengan
bentuk daun bulat telur sungsang untuk spesies Sonneratia alba dan panjang 10-15 cm sedangkan spesies Sonneratia caseolaris bentuk daunnya jorong
dan pajang 4-8 cm.
Bungan spesies Sonneratia
alba berwarna putih sedangkan Sonneratia
caseolaris berwarna merah. Buahnya agak besar dengan lebar 4 cm dan
berwarna hijau dengan bentuk seperti bintang dan keras. Kulit batang halus, berwarna krem sampai coklat dan nampak agak
retak-retak dengan berbentuk akar napas, berbentuk kerucut (Kitamura, 2003).
4.
Avicennia
marina (Forssk) Vierh
Api-api (Grey mangrove), dalam bahasa Gorontalo dikenal dengan nama
yapi-yapi putih. Spesies mangrove ini umumnya hidup pada sustrat berpasir atau
berlumpur tipis. Bertoleransi baik pada salinitas tinggi (salinitas laut),
tinggi pohon dapat mencapai 12 meter dengan bentuk akar berupa akar napas.
Daun bersusun tunggal dan bersilang,
bentuk elips dengan ujung daun runcing hingga membulat. Daun pada sisi sebelah
atas berwarna hijau sedangkan sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan
atau putih. Panjang daun berkisar antara 5-11 cm.
Rangkai bunga 8-11 yang terletak
diketiak daun pada pucuk. Bunganya biasanya berwarna kuning hingga orens dengan
diameter antara 0,4-0,5 cm. Bentuk buah membulat dengan permukaan halus.
Panjang buah 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau hingga kuning. Kulit batang halus,
berwarna keabu-abuan hingga hijau, (Kitamura, 2003).
5.
Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk.
Tancang (Large-Leafed Orange Mangrove) dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal
dengan nama Songge. Pada kondisi yang baik spesies mangrove ini dapat tumbuh
hingga mencapai ketinggian 20-31 meter dengan bentuk akar berupa akar lutut dan
banir kecil berasal dari bentukan seperti akar tunjang.
Daun memiliki panjang antara 8-15 cm,
dan lebarnya antara 5-8 cm, daun biasanya berbentuk elips, mengumpul pada ujung
tangkai batang, denga warna daun bagian atas hijau kekuningan dengan ujung daun
runcing.
Bunga pada umumnya berwarna merah dan
menempel pada buahnya ketika jatuh. Buahnya berwarna hijau dan berbentuk
memanjang ramping, dengan panjang berkisar antara 20-31 cm. Kulit kayu berwarna
abu-abu tua sampai coklat dengan permukaan kasar, (Noor, 2006).
6.
Crips decandra (Griff) Ding
Hou
Tinggi (Yellow Mangrove), dalam bahasa daerah Gorontalo dikenal dengan nama
Molingkapoto. Spesies mangrove ini apabila berada pada habitat yang cocok/baik
dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 3-15 meter dengan bentuk akar berupa
akar banir yang berasal dari akar tunjang.
Bentuk daun bulat telur sungsang dengan
panjang 3-6 cm. Daun berwarna hijau mengkilap dengan ujung daun membundar dan
letak berlawanan. Bunga berwarna putih hingga coklat berdiametet 0,8-1,2 cm,
dengan sepasang benang sari yang terlindung oleh daun bunga. Buah biasanya
berwarna hijau hingga hijau kecoklatan dengan bentuk memanjang berdiameter
0,8-0,12 cm dan panjang buah mencapai 15 cm. Kulit kayu berwarna coklat dengan
permukaan halus, (Noor, 2006).
7.
Xylocarpus
granatum Koen
Nyirih/siri (Cedar mangrove), dalam bahasa gorontalo tumbuhan ini dikenal dengan
nama Antai. Spesies ini dapat tumbuh mencapai lebih dari 8-20 meter dengan
bentuk akar berupa akar papan. Daunnya berwarna hijau gelap, bentuk daun elips
sampai bulat sungsang (Noor, 2006).
Susunan daun berpasangan, letak
berlawanan dengan ujung membulat. Bunga mempunyai ukuran yang kecil dan
berwarna putih susu hingga putih kehijauan. Buah berbentuk bulat dengan
diameter berkisar antara 15-20 cm, berwarna coklat kekuningan. Kulit batang
agak licin dan berwarna merah kecoklatan dengan permukaan halus (Kitamura,
2003).
Sebagai ekosistem pantai, hutan
mangrove merupakan suatu kawasan yang rumit karena terkait dengan ekosistem
darat dan ekosistem pantai di luarnya
sehingga hutan mangrove dapat dikatakan sebagai interface ecosistem, yang menghubungkan daratan ke arah pedalaman
serta dalam pesisir muara (Nybakken dalam Arief, 2003).
Banyak spesies
hewan dan jasad renik yang berasosiasi dengan hutan mangrove baik yang terdapat
pada lantai hutan maupun yang menempel pada tanaman. Keberadaan spesies hewan
dan jasad renik pada ekosistem mangrove yang akan menimbulkan terjadinya proses
pertukaran dan asimilasi energi namun hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Hutan mangrove
merupakan sumber bahan organik yang
dibutuhkan bagi hewan atau biota yang hidup di ekosistem mangrove. Kawasan
mangrove secara nyata menjadi penyedia bahan makanan dan energi bagi kehidupan
di pantai tropis, serupa dengan peranan fitoplankton dan berbagai spesies alga
di laut (Fortes dalam Arief, 2003).
Hutan mangrove
dapat berfungsi secara fisika, kimia, biologi dan ekonomi serta dapat berfungsi
sebagai kawasan wisata dan tempat penelitian, pendidikan dan konservasi (Noor,
2006). Fungsi ekonomi dari hutan mangrove adalah kayunya dapat dijadikan
sebagai bahan bangunan, bahan bakar, penambakan ikan dan udang. Kulit dijadikan
sebagai bahan penyamak, obat-obatan dan sebagai bahan makanan.
Fungsi biologi hutan mangrove sebagai
habitat dari berbagai macam kepiting, udang,
ikan, selain itu sebagai tempat bersarangnya burung-burung serta sebagai
pemasok bahan organik, sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang
hidup pada perairan sekitarnya (Man dalam Noor, 2006). Fungsi fisik hutan mangrove
yaitu sebagai pelindung pantai dan wilayah pesisir dari hempasan gelombang,
angin dan badai, sedangkan fungsi hutan mangrove dalam bidang industri, yaitu
sebagai penghasil arang berkualitas tinggi disamping sebagai penghasil kayu
bakar dan bahan penyamak kulit (Pramudji, 2003).
2.2 Struktur
Vegetasi Mangrove
Vegetasi
merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa spesies yang
hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan bersama
tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu penyusun
vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu
sistem yang hidup serta dinamis (Marsono dalam Irwanto, 2007).
Vegetasi,
tanah dan iklim berhubungan erat dan pada tiap-tiap tempat mempunyai
keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda
dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor lingkungannya.
Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang selalu berkembang sesuai dengan
keadaan habitatnya.
Vegetasi mangrove secara spesifik memperlihatkan adanya
pola zonasi. Hal tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir, atau
gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh
pasang surut air laut (Champman, Bunt dan Williams dalam Noor 2006).
Hutan mangrove terdiri atas berbagai spesies vegetasi.
Beberapa spesies mangrove yang dikenal antara lain Tanang Waduk (Rhizophora apicalata BL.) atau bakau
putih atau bakau gede, Tanjang Lanang (Rhizophora mucronata LMK).
Istilah tanjang sebutan khusus untuk Brugiera yang digolongkan dalam famili yang sama dengan Rhizophoraceae, namun dalam lingkungan
masyarakat pesisir terjadi salah pengertian karena bercampur dengan istilah
daerah atau bahasa daerah. Famili Rhizophoraceae
terdiri atas berbagai spesies, yaitu Bruguiera
gymnorrhiza (L.), Bruguiera
parviflora (L.), Bruguiera sexangula
(Lour), Bruguiera hainesii, Bruguiera
exsaristata Ding Hou, Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou dan Ceriop tagal (Perr.) CB. Robin, (Arief, 2003).
Beberapa spesies yang masih satu famili, khususnya
spesies Rhizophora spp., berbeda dalam hal pertumbuhan akar. Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata tumbuh tegak,
sedangkan Rhizophora stylosa perakaran
memanjang, rebah dan sedikit menjangkar. Buah Rhizophora apiculata agak pendek dan lurus, yang hampir sama dengan
spesies Rhizophora stylosa hanya buah
Rhizophora stylosa kurus dan kecil.
Spesies vegetasi lain adalah dari
famili Sonneratiaceae dan dari famili
Verbenaceae, yakni Sonneratia alba, Sonneratia caseolaris, Sonneratia
ovata, Avicenia alba, Avicenia marina, dan Avicenia officinali L.
Vegetasi hutan
mangrove tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut air laut yang banyak
mengandung lumpur dan pasir. Vegetasi ini mampu hidup dalam genangan air laut
dan tanah yang berawa dan mengandung sedikit oksigen. Oleh karena itu vegetasi
mangrove dapat menyesuaikan diri dengan genangan air laut dan lumpur dengan
cara sebagai berikut :
a.
Untuk mencegah kelebihan kadar garam
maka vegetasi mangrove dapat membentuk pori-pori khusus pada daun, batang dan
akarnya, sehingga dapat mengeluarkan partikel garam pada saat surut.
b.
Dengan membentuk akar napas vegetasi
mangrove dapat bernapas dalam lumpur.
c.
Akar-akar yang menegakan dan menopang
tumbuhan pada habitat lumpur.
d.
Mempunyai cara berkecambah yang khas
yaitu kecambah terbentuk sewaktu buah masak masih tergantung didahan atau
pohon, kemudian jatuh dan tertancap di lumpur secara tegakan lurus pada waktu
surut dan dapat terbawa oleh arus laut keberbagai lokasi yang cocok untuk
berkecambah pada waktu air pasang.
Kemampuan adaptasi mangrove terhadap lingkungan
menunjukan adanya perbedaan vegetasi. Noor (2006) membagi vegetasi mangrove
dalam empat zona yakni:
a.
Mangrove terbuka
Mangve ini berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Pada zona ini
didominasi oleh Sonnertatia alba,
Avecennia marina dan Rhizophora
yang merupakan spesies yang mendominansi daerah lumpur bercampur pasir.
b.
Mangrove tengah
Mangrove dibagian ini terletak di belakang mangrove zona terbuka. Dizona
ini didominasi oleh spesies Rhizophora. Namun Samingan menemukan spesies-spesies yang
lain Di Karang Agung adalah B.erioptela,
B.gymnorrhiza, excoeceria aggalocha, R. Mucronata, Xylocarpus granatum, dan X.
mollucensis.
c.
Mangrove payau
Mangrove ini berada disepanjang
aliran sungai yang berair payau dan hampir tawar. Di zona ini didominasi oleh
spesies Nypa atau Sonneratia.
d.
Mangrove daratan
Mangrove ini berada dizona perairan payau atau hampir tawar dibelakang mangrove
hijau yang sebenarnya. Spesies-spesies yang mendominasi
zona ini adalah Ficus microcapus, Intsia
bijuga, N. fritucans. Lumnitzera racemosa, Pandanus sp., dan Xylocarpus molucensis.
Struktur suatu vegetasi terdiri dari individu-individu yang
membentuk tegakan di dalam suatu ruang (Danserau dalam Lover, 2009). Struktur
vegetasi merupakan dasar yang harus diketahui guna mencapai pengolahan hutan
yang lestari. Menurut Kershaw (dalam Onrizal, 2006) bahwa “Struktur vegetasi merupakan dasar
utama kajian ekologi”.
Struktur
vegetasi dinyatakan dalam tiga komponen, yaitu
(a) Struktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan
lapisan tumbuhan bawah, herba, semak, dan pohon penyusun vegetasi dalam suatu
komunitas, (b) Sebaran horisotal spesies-spesies penyusun yang menggambarkan
letak dari suatu individu dan (c) Kelimpahan
setiap jenis dalam suatu komunitas (Kershaw dalam Onriza, 2006).
Menurut Ewusie (dalam Utami, 2010) bahwa “Vegetasi suatu
komunitas dapat diukur secara kualitatif maupun secara kuantitatif”.
Selanjutnya menurut Gopal dan Bhardwaj (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Struktur
vegetasi tumbuhan memiliki sifat kualitatif
dan kuantitatif”. Ciri kualitatif
yang terpenting pada komunitas antara lain adalah susunan flora dan
fauna serta pelapisan berbagai unsur dalam komunitas. Ciri kuantitatifnya
meliputi beberapa parameter yang dapat diukur seperti densitas, dominansi dan
Frekuensi.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa
“Parameter kuantitatif yang digunakan untuk analisis vegetasi anatara lain;
densitas, frekuensi, luas penutupan,indeks nilai penting, perbandingan nilai
penting, indeks dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, dan
homogenitas suatu komunitas”.
Kerapatan/densitas adalah jumlah individu suatu spesies
tumbuhan dalam suatu luasan tertentu (Idriyanto, 2006). Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukan jumlah atau
banyaknya suatu jenis per satuan luas. Makin besar kerapatan suatu jenis, makin
banyak individu jenis tersebut per satuan luas.
Frekuensi suatu jenis menunjukan
penyebaran suatu jenis dalam suatu areal. Jenis yang menyebar secara merata
mempunyai nilai frekuensi yang besar, sebaliknya jenis-jenis yang mempunyai
nilai frekuensi yang kecil mempunyai daerah sebaran yang kurang luas (Fachrul, 2007). Dengan kata lain
makin banyak ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh yang dibuat
berarti makin besar frekuensi spesies tersebut, sebaliknya makin kecil
ditemukannya suatu spesies dalam sejumlah petak contoh maka semakin kecil
frekuensi spesies tersebut.
Dominasi merupakan nilai yang menunjukan peguasaan suatu jenis terhadap
komunitas (Indriyanto, 2006). Dominansi
dapat dinyatakan dengan menggunakan luas penutupan tajuk atau luas basal area.
Untuk menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas yang bersifat
heterogen, yakni dengan menggunakan rumus Indeks Nilai Penting (INP). Penggunaan indeks nilai penting dalam
menentukan dominansi spesies-spesies dalam suatu komunitas karena
kerapatan/densitas, dominansi dan frekuensi tidak dapat digunakan satu demi
satu untuk menunjukkan kedudukan relatif spesies dalam suatu komunitas
tumbuhan. Menurut Soegianto (dalam Indriyanto, 2006) bahwa “Indeks Nilai
Penting (INP) atau Inpontant Value Index
merupakan indeks kepentingan yang digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan”.
Indeks Nilai Penting merupakan penjumlahan dari seluruh nilai Frekuensi
Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR) dan Dominansi Relatif (DR) setiap spesies.
Menurut Indriyanto (2006) bahwa “ Suatu daerah yang hanya didominasi oleh jenis-jenis
tertentu, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang
rendah”. Daerah yang hanya didominansi oleh spesies-spesies tertentu, memiliki
pengaruh terhadap tingkat keanekaragaman spesies.
Keanekaragaman jenis menyatakan suatu ukuran yang menggambarkan variasi
jenis tumbuhan dari suatu komunitas yang dipengaruhi oleh jumlah jenis dan
kelimpahan relatif dari setiap jenis.
Parameter kuantitatif yang
dapat digunakan untuk mendeskripsikan vegetasi tumbuhan, baik dari segi
vegetasi maupun tingkat kesamaannya dengan vegetasi lain yakni dengan
menghitung indeks keanekaragaman spesies (Soegianto dalam Indriyanto, 2006).
Untuk mengetahui keanekaragaman spesies yakni dengan menggunakan rumus
Shannon_Wienner (H‘).
Berdasarkan uraian tersebut, maka parameter yang digunakan untuk analisis
struktur vegetasi mangrove di Desa Hutamonu adalah kerapatan/densitas, frekuensi, dominansi, indeks
nilai penting dan indeks diversitas.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian
3.1.1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan pesisir pantai Desa
Hutamonu Kecamatan Botumoito Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo.
3.1.2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini selama 3 bulan yaitu pada Bulan Agustus
sampai Bulan Oktober 2010.
3.2. Populasi dan Sampel
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan tumbuhan
mangrove yang terdapat di kawasan hutan mangrove Desa Hutamonu Kabupaten
Boalemo.
3.2.2 Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah semua spesies mangrove
yang terdapat pada 4 stasiun pengamatan. Pembagian stasiun didasarkan pada
kenampakan vegetasi mangrove, karakteristik setiap wilayah pengamatan dan
kemudahan dalam peletakan garis transek.
3.3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif, menggunakan metode Line Transek dengan pendekatan deskriptif.
Karena wilayah penelitian (Kawasan hutan Mangrove yang terdapat di Desa
Hutamonu Kabupaten Boalemo) ini memiliki luas
150 Ha, maka untuk pengambilan sampel dibuat 4 stasiun pengamatan dengan
tiap stasiun dianggap mewakili wilayah yang diamati. Pada setiap stasiun dibuat transek tegak lurus
dari garis pantai kearah darat, pada setiap transek dibuat 4 buah plot yang
diletakan pada bagian kanan dan kiri secara berselang, sehingga jumlah plot
dari ke 4 stasiun adalah 16 plot.
Line transek tersebut dibuat tegak
lurus memotong garis pantai dengan panjang garis/line transek 150 m yang
terbagi dalam 4 plot/kuadrant dengan ukuran plot masing-masing 10 x 10 meter
untuk golongan pohon, 5 x 5 meter untuk golongan anak pohon dan 2 x 2 meter
untuk golongan semai. Penggolongan pohon, anak pohon dan semai berdasarkan
ukuran diameter batang , yakni untuk pohon dengan diameter batang ≥ 10 cm, anak
pohon dengan diameter 2,1 cm -10 cm, dan semai ≤ 2 cm (Fachrul, 2007).
3.4. Alat Dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Role Meter, digunakan
untuk membuat plot (kuadrant)
2.
Salino meter, digunakan untuk
mengukur salinitas/kadar garam air laut.
3.
GPS (Global Position System), digunakan untuk
menentukan titik koordinat wilayah pengambilan sampel.
4.
Soil tester, digunakan
untuk menentukan pH tanah
dari wilayah pengambilan sampel.
5.
Termometer, digunakan untuk menentukan suhu lingkungan.
6.
Kunci Determinasi/identifikasi, digunakan
untuk mengidentifikasi tanaman mangrove.
7.
Kamera, alat untuk
dokumentasi.
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah semua spesies penyusun vegetasi mangrove yang masuk
kedalam plot pengamatan.
3.5. Prosedur Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengambilan data pada
penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Menentukan titik masing-masing
wilayah yang menjadi wilayah sampel penelitian dan menentukan titik
koordinatnya pada peta dengan menggunakan GPS (Global Position System).
2.
Membuat jalur transek sepanjang 150
meter dengan menggunakan role meter dengan ukuran masing-masing Plot/kuadrant
10 x 10 m, 5 x 5 m dan 2 x 2 m.
3.
Mengamati bagian-bagian morfologi (akar, batang, dan daun) dari
masing-masing vegetasi mangrove yang menjadi sampel.
4.
Mencocokkan data hasil pengamatan
(ciri-ciri morfologi dari batang, akar, dan daun dari tumbuhan mangrove) yang
diperoleh dengan ciri-ciri dari masing-masing spesies mangrove yang terdapat
pada buku determinasi/identifikasi (buku panduan lapangan).
5.
Memberikan nama (penamaan) spesies dari
masing-masing tumbuhan mangrove berdasarkan kunci determinasi/identifikasi
(buku panduan lapangan).
6.
Mengukur pH tanah dari wilayah sampel
yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan Soil Tester.
7.
Mengukur suhu lingkungan dari wilayah
sampel yang menjadi lokasi penelitian dengan menggunakan Termometer.
8. Mengukur salinitas air pada setiap
wilayah pengambilan sampel dengan menggunakan Salino Meter.
Berikut ini adalah Lay Out yang digunakan dalam pengambilan
sampel dilapangan.
Gambar 1: Transek yang digunakan dalam pengambilan
sampel
|
Jarak antar plot = 20 meter
|
Arah
|
Transek
|
Lebih
jelasnya ukuran plot/kuadran yang akan digunakan dalam penelitian dapat dilihat
pada gambar berikut.
5 M
5
M
|
10
M
2 M
2 M
|
10 M
Gambar
2: Ukuran Plot yang Digunakan Dalam Penelitian
(Fachrul, 2007)
(Fachrul, 2007)
3.6 Prosedur
Analis Data
Data yang telah diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan rumus yang
dikemukakan oleh Fachrul, (2007), sebagai berikut:
a.
Penentuan Basal Area dengan menggunakan rumus:
Ï€ = 3,14
b.
Analisis
vegetasi dengan menggunakan rumus:
c.
Indeks Nilai Penting = Dominasi Relatif (DR) + Densitas
Relatif (DR) + Frekuensi Relatif (FR).
d.
Indeks Diversitas ditentukan dengan
menggunakan rumus Shannon_Wienner (H), yakni
:
H'
=
H' = Indeks keanekaragaman Shannon_Wienner
ni = Cacah individu
setiap spesies
N = Total cacah
individu seluruh spesies
Atau
H'=
Pi =
Pi = Kelimpahan relatif dari spesies
ke-i
Besarnya
indeks keanekaragaman spesies menurut Shannon_Wienner didefenisikan dalam tiga
tingkatan yakni:
1.
Nilai H' > 3 menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies yang ada pada suatu transek atau stasiun berada dalam
kemelimpahan yang tinggi.
2.
Nilai H' 1 ≤ H' ≤ 3 menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies pada suatu transek atau stasiun berada dalam
kemelimpahan yang sedang
3.
Nilai H' < 1 menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies pada suatu transek atau stasiun berda dalam kemelimpahan
yang sedikit atau rendah, (Odum dalam Fachrul, 2007).
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Hutamonu
terletak di Kecamatan Botumoito Kabupaten Boalemo. Desa Hutamonu
terletak dititik koordinat N 00029.12.1” dan E 122015.18.00”BT. Luas wilayah
Desa Hutamonu adalah 123,86 km2,
dengan batas wilayah meliputi, Sebelah Utara berbatasan
dengan Kecamatan Sumalata, sebelah Timur berbatasan
dengan Desa Botumoito, sebelah Selatan berbatasan
dengan Teluk Tomini dan sebelah Barat berbatasan
dengan Desa Dulangea, (Data Primer Kantor Desa Hutamonu, 2010).
Desa Hutamonu terbagi atas tiga dusun,
yaitu: Dusun Pontolo, Dusun Ilohutode, dan Dusun Tilayo. Luas wilayah hutan mangrove Desa
Hutamonu adalah 150 Ha (Data Primer Kantor Desa Hutamonu, 2010).
Kawasan hutan mangrove sebagian
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat pembuatan tambak ikan dan sebagian
kayunya digunakan untuk keperluan lainnya. Adapun lokasi
penelitian terdiri atas stasiun 4 dengan
karakteristik yang berbeda antara lain:
1. Stasiun I
terletak dibagian timur yakni di Dusun I (Dusun Pontolo) yang merupakan
perbatasan Desa Hutamonu dengan Desa Botumoito. Komunitas mangrove pada stasiun
ini tumbuh pada substrat lumpur
bercampur pasir dan jauh dari pemukiman penduduk.
2.
Stasiun II terletak di Dusun I (Dusun
Pontolo) yang dekat dengan tambak dan merupakan salah satu jalur yang menjadi
jalan masyarakat nelayan untuk menembus laut. Komunitas mangrove pada stasiun ini tumbuh pada substrat
lumpur bercampur pasir.
3.
Stasiun
III terletak di Dusun II (Dusun Ilohutode) yang merupakan tempat yang dekat
dengan pemukiman dan merupakan tempat yang dekat dengan aktifitas penduduk yang membudidayakan rumput laut. Komunitas
mangrove pada stasiun ini tumbuh pada substrat lumpur bercampur pasir serta dekat dengan sungai sehingga mangrove
mendapat sedimen tanah secara langsung dari sungai.
4.
Stasiun
IV terletak dibagian Barat di Dusun II (Dusun Ilohutode) yang merupakan
perbatasan antara Desa Hutamonu dengan Desa Dulangea dan merupakan tempat yang
jauh dari pemukiman penduduk. Komunitas mangrove pada stasiun ini tumbuh pada
substrat lumpur bercampur pasir, (Data Sekunder Desa Hutamonu, 2010).
Hutan mangrove yang terletak
di Desa Hutamonu terbentang sepanjang 1700 m disepanjang pantai. Kondisi
hutan mangrove Desa Hutamonu memiliki topografi yang tidak merata sehingga
memungkinkan hutan mangrove tergenang secara tidak merata pada saat air pasang
dan bebas dari genangan secara tidak merata pada saat air surut.
Pasang surut air laut di hutan mangrove
Desa Hutamonu umumnya terjadi 2 kali/hari dengan ketinggian air pasang mencapai
40-215 cm. Air pasang tertinggi terjadi pada pertengahan bulan sampai akhir
bulan, sedangkan air pasang terendah terjadi pada awal bulan sampai pada
pertengahan bulan
dilangit, (Data Sekunder Desa Hutamonu , 2010).
4.2
Hasil Penelitian
Berdasarkan penjumlahan nilai kerapatan/densitas relatif,
dominansi relatif dan INP tingkat pohon pada semua stasiun, spesies Rhizophora mucronata Lamk memiliki nilai
tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Adapun perbandingan nilai
perstasiun dapat dilihat pada Tabel 1 Halaman 31. Selanjutnya berdasarkan Tabel
1 tersebut, penjumlahan nilai frekuensi dan Indeks Diversitas (ID) seluruh
stasiun, Rhizophora apiculata Blume
merupakan spesies yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies
yang lain.
Nilai kerapatan/densitas, dominansi dan frekuensi
penjumlahan nilai tingkat pancang pada
semua stasiun, spesies Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang
lain. Selanjutnya berdasarkan penjumlahan nilai INP dan Indeks Diversitas (ID)
seluruh stasiun, Rhizophora mucronata
Lamk merupakan spesies yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan
spesies yang lain. Adapun perbandingan nilai perbandingan perstasiun dapat
dilihat pada Tebel 2 halaman 31.
Hasil analisis data parameter vegetasi untuk tingkat semai,
nilai kerapatan/densitas, dominansi dan INP penjumlahan nilai pada semua
stasiun spesies Rhizophora mucronata
Lamk memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain.
Frekuensi tingkat semai terdapat dua spesies mangrove
memiliki nilai yang sama yakni Rhizophora
mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume. Selanjutnya penjumlahan nilai Indeks Diversitas (ID)
seluruh stasiun, Rhizophora apiculata
Blume merupakan spesies yang memiliki nilai tertinggi dibandingkan dengan
spesies yang lain. Adapun perbandingan nilai semai perstasiun dapat dilihat
pada Tabel 3 halaman 32. Selanjutnya
hasil pengukuran faktor lingkungan semua stasiun dapat dilihat pada
Tabel 4 halaman 32.
4.3 Pembahasan
4.3.1
Densitas
Vegetasi Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo
Berdasarkan
hasil penelitian untuk tingkat pohon (tertera pada Tabel 1 halaman 31 ),
terdapat 8 spesies mangrove yang terdiri dari Rhizophora mucronata Lamk,
Rhizophora apiculata Blume,
Sonneratia caseolaris (L) Eng,
Avecenia marina (Forks) Vierh,
Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk,
Ceriops decandra (Griff) Ding Hou,
Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus
granatum Keon (niri). Dari 8 spesies mangrove yang ditemukan spesies Rhizophora mucronata Lamk memiliki nilai
densitas 0,1 m-2 dan densitas relatif tertinggi yakni 32,09%,
kemudian disusul spesies Rhizophora
apiculata Blume dengan nilai densitas 0,08 m2 dan densitas relatif 24,47%, spesies Xylocarpus granatum Keon (niri) dengan
nilai densitas 0,04m-2 dan densitas relatif 11,77%, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan
nilai densitas 0,02 m-2 dan densitas relatif 9,31%, Sonneratia alba J.E. Smith dengan nilai
densitas 0,03 m-2 dan densitas relatif 8,83%, Avecenia marina (Forks) Vierh nilai densitas 0,02 m-2
dan densitas relatif 6,38%, Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou dengan nilai densitas 0,01 m-2 dan
densitas relatif 3,92%, sedangkan spesies Sonneratia
caseolaris (L) Eng merupakan spesies yang memiliki nilai densitas terendah
dibandingkan dengan spesies yang lain, dengan nilai densitas 0,01 m-2
dan densitas relatif 3,21%. Densitas
vegetasi mangrove tingkat pohon pada lokasi kajian menunjukan bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk memiliki
jumlah yang tinggi hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai yang tinggi
dibandingkan dengan spesies yang lain.
Vegetasi
mangrove tingkat pancang (yang tertera pada tabel 2 hasil penelitian halaman
31), menunjukan bahwa spesies Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai densitas tertinggi yakni dengan nilai
densitas 0,39 m-2 dan densitas relatif 40,41%, kemudian disusul
spesies Rhizophora mucronata Lamk
dengan nilai densitas 0,36 m-2 dan densitas relatif 34,93%, Bruguiera gymnorrhiza (L) dengan nilai
densitas 0,07 m-2 dan densitas relatif 8,21%, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou dengan nilai densitas sebesar
0,04 m-2 dan densitas relatif 4,92%, Avecenia marina (Forks) Vierh dengan nilai densitas 0,03 m-2
dan densitas relatif 3,95%, Xylocarpus
granatum Keon (niri) dengan nilai densitas sebesar 0,02 m-2 dan
densitas relatif 3,24%, Sonneratia
caseolaris (L) Eng dengan nilai densitas 0,02 m-2 dan densitas
relatif 3,03%, sedangkan spesies Sonneratia
alba J.E. Smith memiliki nilai densitas yang terendah di bandingkan dengan
spesies yang lain, yakni dengan nilai densitas 0,01 m-2 dan densitas
relatif 1,31%. Hal ini menunjukan bahwa untuk tingkat pancang Rhizophora apiculata Blume merupakan
spesies yang memiliki tingkat kerapatan/densitas yang tingggi untuk tingkat
pancang sedangkan Sonneratia alba
J.E. Smith merupakan spesies yang memiliki kerapatan/densitas yang rendah.
Hasil
penelitian tingkat semai (tertera pada Tabel 3 halaman 32), ditemukan 5 spesies
tumbuhan mangrove yang terdiri dari Rhizophora
mucronata Lamk, Rhizophora apiculata
Blume, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, dan Xylocarpus granatum Keon (niri). Pada Tabel 3 tersebut menunjukan
bahwa Rhizophora mucronata Lamk
memiliki nilai densitas tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Rhizophora mucronata Lamk memilki nilai
densitas 2,21 m-2 dan densitas relatif dengan nilai 51,25%, kemudian
disusul spesies Rhizophora apiculata Blume dengan nilai densitas 1,42 m-2
dan densitas relatif 31,53%, Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai densitas 0,66 m-2 dan densitas
relatif 14,16%, dan spesies Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou, dan Xylocarpus granatum Keon (niri) merupakn
spesies yang memiliki nilai terendah yakni 0,06 m-2 dan densitas
relatif 1,53%.
Berdasarkan analisis parameter vegetasi
yang tersebut di atas, menunjukan bahwa Rhizophora
mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume merupakan spesies yang memiliki nilai kerapatan/densitas
yang tertinggi dibandingkan dengan spesies yang lain. Spesies Rhizophora
mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume termasuk dalam famili Rhizophoraceae merupakan spesies yang dapat beradaptasi dengan baik pada
kondisi tanah yang berlumpur. Kondisi tanah seperti ini sesuai dengan lokasi
penelitian dengan substrat tanah yang
berlumpur. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Chapman (dalam Noor, 2006)
bahwa “Sebagian besar spesies-spesies
mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur, terutama di daerah
dimana endapan lumpur terakumulasi”.
Selain kondisi substrat yang sesuai,
kerapatan/densitas yang tinggi yang dimiliki spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume didukung oleh faktor lingkungan yang cocok yakni dengan
suhu lingkungan berkisar antara 26,20C sampai 27,20C
merupakan suhu yang cocok untuk pertumbuhan mangrove. Hal ini sesuai dengan apa
yang dikemukakan oleh Irwanto (2006) bahwa “Mangrove adalah tumbuhan khas
daerah tropis yang hidupnya hanya berkembang baik pada temperatur dari 190C
sampai 400C dengan toleransi fluktuasi tidak lebih dari 100C”.
Pada Tabel 4 halaman 32 diatas,
menunjukaan bahwa salinitas lingkungan pada lokasi kajian berkisar antara
36-40‰, pH air berkisar antara 7-8 dan pH tanah berkisar antara 6-6,5. Hal ini
menunjukan bahwa kondisi linkungan untuk
lokasi kajian mendukung untuk pertumbuhan mangrove. Boyd menyatakan bahwa
"Air murni mempunyai pH = 7 dan dinyatakan netral, sedangkan air payau
normal berkisar antara 7-9 (dalam Agus, 2008).
4.3.2
Dominansi
Vegetasi Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo
Spesies mangrove tingkat pohon (tertera
pada Tabel 1 halaman 31) terdapat 8 spesies tumbuhan mangrove yang terdiri dari
Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
Selanjutnya berdasarkan Tabel 1 tersebut, Rhizophora
mucronata Lamk merupakan
spesies yang memiliki nilai tertinggi
pada tingkat pohon dengan nilai densitas sebesar 1,67 m-2 dan densitas relatif sebesar 47,08%, kemudian disusul spesies Rhizophora apiculata Blume memiliki
nilai densitas 1,18 m-2 dan
densitas relatif 33,07%, Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai densitas 0,18 m-2 dan densitas relatif 4,86%, Xylocarpus granatum Keon (niri) dengan
nilai densitas 0,17 m-2 dan densitas relatif 4,61%, Avecenia marina (Forks) Vierh dengan
nilai densitas sebesar 0,13 m-2 dan densitas relatif dengan nilai
3,6%, Sonneratia caseolaris (L) Eng
dengan nilai densitas 0,05 m-2 dan densitas relatif 1,62%,
sedangkan Ceriops decandra (Griff) Ding Hou dengan nilai densitas 0,05 m-2
dan densitas relatif 1,44% yang merupakan spesies yang memiliki nilai dominansi
yang rendah dibandingkan dengan spesies yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
spesies Rhizophora mucronata Lamk dan
Rhizophora apiculata Blume merupakan
spesies yang dominan dibandingkan dengan spesies yang lain.
Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume memiliki penyebaran yang luas disebabkan oleh adanya
kondisi substrat yang berlumpur pada lokasi penelitian. Sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Steenis (dalam Fauziah,
2004) bahwa "Pada umumnya struktur yang terbesar dari mangrove yang ada di
Indonesia diisi oleh spesies Rhizophora sp”.
Hasil penelitian pada Tabel 2 halaman
31 untuk tingkat pancang, ditemukan 8 spesies mangrove. Pada Tabel 2 tersebut
menunjukan bahwa spesies Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai yang tertinggi dibandingkan dengan spesies
yang lain. Rhizophora apiculata Blume
memiliki nilai dominansi 1,35 m-2
dan dominansi relatif 50,75%,
kemudian disusul spesies Rhizophora
mucronata Lamk dengan nilai dominansi 0,91m-2 dan dominansi
relatif 36,77%, kemudian spesies Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai dominansi 0,11m-2 dan
dominansi relatif 5,57%, Avecenia marina
(Forks) Vierh dengan nilai dominansi 0,0,04m-2 dan dominansi relatif
1,86%, Xylocarpus granatum Keon
(niri) dengan nilai dominansi 0,03 m-2 dan dominansi relatif 1,69%, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou dengan
nilai dominansi 0,03 m-2 dan dominansi relatif 1,43%, Sonneratia caseolaris (L) Eng dengan
nilai dominansi 0,03 dan dominansi relatif 1,41%, dan spesies Sonneratia alba J.E. Smith dengan nilai dominansi 0,01 m-2
dan dominansi relatif 0,52% merupakan spesies yang memiliki nilai dominansi
yang rendah. Spesies Rhizophora apiculata
Blume dan Rhizophora mucronata Lamk
memililki pola penyebaran yang luas. Ditinjau dari sistem klasifikasi kedua
spesies ini tergolong dalam satu Genus yakni Rhizophora sp, merupakan spesies yang memiliki pola penyebaran yang luas
untuk hutan mangrove dan memiliki daya adaptasi yang baik terhadap kondisi
substrat yang berlumpur dan berpasir, hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Kint (dalam Noor, 2006) bahwa “Di Indonesia sangat baik untuk
tegakan mangrove spesies Rhizophora sp., dan spesies Avecennia”.
Berdasarkan hasil penelitian tingkat
semai (tertera pada Tabel 3 halaman 32), terdapat 5 spesies mangrove tingkat
semai yakni Rhizophora mucronata Lamk,
Rhizophora apiculata Blume,
Sonneratia caseolaris (L) Eng,
Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dan
Ceriops decandra (Griff) Ding Hou. Selanjunya berdasarkan tabel tersebut
menunjukan bahwa spesies Rhizophora
mucronata Lamk dengan nilai dominansi sebesar 1,67 m-2 dan
dominansi relatif 46,7%, kemudian disusul jenis Rhizophora apiculata Blume dengan nilai dominansi 1,11m-2
dan dominansi relatif dengan nilai 33,79%, kemudian disusul spesies Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan
nilai dominansi 0,27 m-2 dan dominansi relatif 8,78%, kemudian
spesies Ceriops decandra (Griff) Ding
Hou dengan nilai dominansi 0,06 m2 dan dominansi relatif 8,9% dan Xylocarpus granatum Keon (niri)
merupakan spesies yang memiliki nilai dominansi yang rendah yakni dengan nilai
frekuensi sebesar 0,01 m-2 dan frekuensi relatif 1,83%.
Berdasarkan uraian diatas menunjukan
bahwa spesies Rhizophora mucronata
Lamk dan Rhizophora apiculata Blume
memiliki luas penutupan tajuk atau basal area yang tinggi dibandingkan dengan
spesies yang lain. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Odum (dalam
Fauziah, 2004) bahwa “Kelompok yang dominan pada hutan mangrove adalah jenis
bakau dari famili Rhizophoraceae yang
sebagian besar merupakan jenis kayu komersil seperti Rhizophora mucronata dan Rhizophora
apiculata“. Adanya kondisi lingkungan yang berlumpur dan
berpasir yang merupakan substrat yang cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangannya mangrove jenis Rhizophora.
4.3.3
Frekuensi
Vegetasi Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo
Spesies
tumbuhan mangrove tingkat pohon (tertera pada Tabel 1 halaman 31)
terdapat 8 spesies mangrove yang terdiri
dari Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
Selanjutnya berdasarkan Tabel 1 tersebut, Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai frekuensi 0,94 m-2 dan frekuensi
relatif dengan nilai sebesar 21,77%, kemudian disusul spesies Rhizophora
mucronata Lamk memiliki nilai frekuensi 0,91 m-2 dan nilai
frekuensi relatif dengan nilai sebesar 21,45%, kemudian spesies Avecenia marina (Forks) Vierh dengan
nilai frekuensi 0,56 m-2 dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar
12,98%, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai frekuensi 0,5 m-2
dan frekuensi relatif 11,51%, spesies Xylocarpus granatum Keon (niri) dengan
nilai frekuensi 0,44 m-2 dan
nilai frekuensi relatif 9,72%, kemudian spesies
Sonneratia alba J.E.Smith dengan nilai
frekuensi 0,37 m-2 dan frekuensi relatif 8,88%, spesies
Sonneratia caseolaris (L) Eng
dengan nilai frekuensi 0,31 m-2 dan frekuensi relatif 6,91% dan yang memiliki nilai yang terendah dari 8
spesies mangrove yang ditemukan adalah spesies
Ceriops decandra (Griff) Ding
Hou dengan nilai frekuensi sebesar 0,31 m-2 dan frekuensi relatif
dengan nilai 6,78%. Hal ini dapat
dikatakan bahwa spesies Rhizophora apiculata Blume pada tingkat
pohon memiliki pola penyebaran yang luas dibandingkan dengan jenis yang lain.
Hal ini didukung oleh pendapat Tamlinson (dalam Ledheng, 2009) bahwa
“Spesies-spesies yang umum ditemukan di kawasan hutan mangrove pesisir pantai
kawasan Indonesia dan Malaysia yang merupakan tempat biogeografi
spesies-spesies tertentu seperti Rhizophora, Bruguiera, Sonneratia,
Avecenia,Ceriops, Lumnitzera dan spesies
yang lainnya”.
Hasil penelitian mangrove tingkat
pancang (tertera Tabel 2 halaman 31)
terdapat 8 spesies mangrove yang terdiri
dari Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
Selanjutnya berdasarkan Tabel 2 tersebut, Rhizophora
apiculata Blume merupakan
spesies yang memiliki nilai tertinggi
pada tingkat pancang dibandingkan dengan spesies yang lain yakni dengan nilai
frekuensi sebesar 0,94 m-2 dan frekuensi relatif 29,7%, disusul
spesies Rhizophora mucronata Lamk dengan nilai frekuensi sebesar 0,87 m-2
dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar 28,03%, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai frekuensi 0,5 m-2
dan frekuensi relatif dengan nilai 15,47%, Avecenia
marina (Forks) Vierh dengan nilai
frekuensi sebesar 0,25 m-2 dan frekuensi reltif dengan nilai
7,69%, Xylocarpus granatum Keon (niri) memiliki nilai frekuensi sebesar
0,19 m-2 dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar 5,84%, Sonneratia caseolaris (L) Eng dengan nilai frekuensi sebesar 0,19 m-2
dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar 5,93%, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou dengan nilai frekuensi sebesar
0,19 m-2 dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar 5,67%, sedangkan
nilai yang paling rendah dimiliki oleh spesies
Sonneratia alba J.E. Smith
dengan nilai frekuensi sebesar 0,06 m-2 dan frekuensi relatif dengan
nilai sebesar 1,67%.
Spesies
Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume dan Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk termasuk
dalam famili Rhizophoraceae merupakan spesies
yang dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi tanah yang
berlumpur. Kondisi tanah seperti ini
sesuai dengan lokasi penelitian dengan substrat
tanah yang berlumpur.
Mangrove tingkat semai (tertera pada
Tabel 3 halaman 32) terdapat 5 spesies
mangrove yakni; Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dan Ceriops decandra (Griff) Ding Hou. Selanjutnya berdasarkan Tabel 3
tersebut, spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai frekuensi yang sama yakni 0,81 m-2
dan frekuensi relatif yang sama yakni 39,37%, kemudian disusul oleh spesies Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan
nilai frekuensi 0,31 m-2 dan frekuensi relatif dengan nilai sebesar
13,76 m-2, sedangkan spesies Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou dengan nilai frekuensi 0,12 m-2 dan
frekuensi relatif dengan nilai 5% dan Xylocarpus
granatum Keon (niri) dengan nilai frekuensi 0,06 m-2 dan
frekuensi relatif dengan nilai sebesar 2,5%.
Sesuai dengan nilai frekuensi tersebut menunjukkan bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk merupakan
spesies yang memiliki nilai yang tertinggi untuk tingkat semai dibandingkan
dengan spesies yang lain.
Secara klasifikasi kedua spesies
mangrove tersebut (Rhizophora mucronata
Lamk dan Rhizophora apiculata Blume)
merupakan spesies yang tergolong dalam
satu famili yakni famili Rhizophoraceae.
Famili Rhizophoraceae merupakan
mangrove yang beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang memiliki substrat
berlumpur. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kint dalam Noor
(2006) bahwa di Indonesia, substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan Rhizophora mucronata Lamk dan Avecenia marina (Forks) Vierh. Keadaan
ini sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada di lokasi penelitian yaitu lumpur
yang bercampur pasir.
4.3.4
INP Vegetasi
Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo
Berdasarakan hasil penelitian mangrove
tingkat pohon (tertera pada Tabel 1
halaman 31) terdapat 8 spesies mangrove
yang terdiri dari Rhizophora mucronata
Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
Selanjutnya berdasarkan Tabel 1 tersebut, spesies Rhizophora
mucronata Lamk memiliki nilai penting
sebesar 100,62%, kemudian disusul spesies Rhizophora apiculata Blume memiliki nilai penting sebesar 79,33%,
sedangkan spesies yang memiliki nilai penting yang terendah dari semua spesies
yakni spesies Sonneratia caseolaris (L)
Eng dengan nilai sebesar 11,74%.
Hasil penelitian mangrove tingkat
pancang (tertera pada Tabel 2 halaman 31), ditemukan 8 spesies mangrove yakni Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
Dari 8 spesies tersebut, spesies Rhizophora apiculata Blume memiliki
nilai penting tertinggi yakni dengan nilai sebesar 120,86%, kemudian disusul
spesies Rhizophora mucronata Lamk
dengan nilai sebesar 99,73%, kemudian spesies Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk dengan nilai sebesar 29,25% dan yang
memiliki nilai penting yang terendah dari 8 spesies yang ditemukan untuk tingkat
pancang yakni spesies Sonneratia alba
J.E. Smith dengan nilai sebesar 3,5%.
Pada Tabel 3 hasil penelitian untuk
tingkat semai, menunjukan bahwa dari 5 spesies mangrove yang ditemukan yakni Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, spesies Rhizophora mucronata Lamk, Bruguiera
gymnorrhiza (L) Lamk , Ceriops
decandra (Griff) Ding Hou dan Xylocarpus
granatum Keon (niri). Dari 5 spesies
yang ditemukan, spesies Rhizophora
mucronata Lamk memiliki nilai penting tertinggi yakni 137,32% dan yang
memiliki nilai terendah dari 5 spesies yang ditemukan yakni Xylocarpus granatum Keon (niri) dengan
nilai penting sebesar 5,86%.
Hasil analisis data parameter
vegetasi mangrove bahwa spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume merupakan
spesies yang memiliki pola penyebaran
yang luas akan tetapi setiap stasiun
didominasi oleh spesies mangrove yang
berbeda dari kedua spesies tersebut.
Penyebaran spesies Rhizophora mucronata Lamk dan
Rhizophora apiculata Blume pada lokasi kajian didukung oleh kondisi
substrat berlumpur yang merupakan substrat yang cocok untuk pertumbuhan dan
perkembangan Rhizophora mucronata
Lamk dan Rhizophora apiculata Blume.
Selain itu tempat tumbuh mangrove yang ideal adalah disekitar pantai dengan
muara sungai reltif lebar, daerah delta dan tempat-tempat dengan arus sungai
yang banyak mengandung lumpur dan pasir, (Ramayanti dalam Fauziah, 2004).
Berdasarkan uraian tersebut maka struktur vegetasi mangrove
tingkat pohon, pancang dan semai yang ada di kawasan Desa Hutamonu berdasarkan
Indeks Nilai Penting (INP) didominasi oleh spesies Rhizophora
mucronata Lamk dan Rhizophora
apiculata Blume. Untuk dapat melihat perbandingan Nilai Penting (NP) untuk
setiap spesies dapat dilihat pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3: Diagram perbandingan
Indeks Nilai Penting (INP) pada tingkat pohon, pancang dan semai
4.3.5
Indeks
Keanekaragaman Vegetasi Mangrove Di Kawasan Desa Hutamonu Kabupaten Boalemo
Berdasarkan hasil penelitian tingkat
pohon (tertera pada Tabel 1 halaman 31) menunjukan bahwa dari 8 spesies
mangrove yang ditemukan, indeks keanekaragaman tertinggi dimiliki oleh spesies Rhizophora apiculata Blume dengan nilai
0,612 sedangkan indeks keanekaragaman yang terendah dimiliki oleh spesies Sonneratia caseolaris (L) Eng dengan
nilai 0,104 atau indeks keanekaragaman mangrove tingkat pohon berkisar antara
0,104-0,612. Dari kisaran nilai tersebut menunjukan bahwa indeks keanekaragaman
mangrove tingkat pohon berada pada kisaran yang rendah.
Hasil penelitian tingkat pancang
(tertera pada Tabel 2 halaman 31) menunjukan bahwa dari 8 spesies, Rhizophora
mucronata Lamk memiliki nilai tertinggi yakni 0,164 dan nilai yang terendah
yakni spesies Sonneratia alba J.E.
Smith sebesar 0,031. Hal ini menunjukan bahwa keanekaragaman mangrove tingkat
pancang berada pada kondisi yang rendah. Selanjutnya untuk tingkat semai dari 5
spesies mangrove yang ditemukan, spesies Rhizophora
apiculata Blume memiliki nilai keanekaragaman tertinggi yakni 0,597 dan
nilai indeks keanekaragaman terendah dimiliki oleh spesies Xylocarpus granatum Keon (niri) yakni 0,04.
Berdasarkan uraian diatas menunjukan
bahwa indeks keanekaragaman mangrove tertinggi untuk tingkat pohon dan semai
adalah spesies Rhizophora apiculata
Blume sedangkan untuk tingkat pancang adalah spesies Rhizophora mucronata Lamk. Indeks Keanekaragaman/Densitas (ID) dari
hasil analisis vegetasi, spesies Rhizophora mucronata Lamk dan Rhizophora apiculata Blume merupakan spesies yang memiliki tingkat keanekaragaman yang
tinggi. Stennis (dalam Ledheng, 2009) menyatakan bahwa “Pada umumnya struktur
yang terbesar dari mangrove di Indonesia diisi oleh famili Rhizophoraceae”,
selanjutnya menurut Bengen (2002) menyatakan bahwa “Daur hidup yang khusus dari
famili Rhizophoraceae (Rhizophora sp
dan Bruguiera sp) dengan benih yang
dapat berkecambah pada waktu masih berada pada tumbuhan induk sangat menunjang
distribusi yang luas dari spesies ini
pada ekosistem mangrove”.
Sebaran indeks keanekaragaman vegetasi mangrove desa Hutamonu berkisar
antara 0,031-0,614. Dari kisaran nilai tersebut, berdasarkan kriteria
pembobotan kualitas lingkungan vegetasi, maka vegetasi mangrove Desa Hutamonu
rata-rata berada pada tingkat kurang baik atau rendah (H' < 1). Rendahnya
keanekaragaman ini disebabkan oleh vegetasi mangrove yang hanya didominasi oleh
spesies-spesies tertentu. Hal ini sesuai
dengan apa yang dikemukakan oleh Irwanto (2007) bahwa ”Suatu daerah yang hanya
didominasi oleh spesies-spesies tertentu
saja, maka daerah tersebut dikatakan memiliki keanekaragaman yang rendah”. Untuk melihat perbandingan Indeks
Keanekaragaman/Diversitas (ID) pada tingkat pohon, pancang dan semai dapat
dilihat pada Gambar 4 berikut:
Gambar 4: Diagram perbandingan
indeks keanekaragaman pada tingkat pohon, pancang dan semai.
Mangrove memiliki kemampuan adaptasi
yang berbeda setiap spesies. Kemampuan adapatsi mangrove terhadap lingkungan
(salinitas, substrat dan suhu) menyebabkan perbedaan dalam hal vegetasi.
Vegetasi mangrove yang terdapat di Desa Hutamonu memiliki tiga zona yakni:
a.
Mangrove terbuka
Mangrove ini berada pada bagian yang berhadapan langsung
dengan laut. Pada bagian ini didominasi oleh Rhizophora, Avecennia dan
Sonnertatia.
b.
Mangrove tengah
Mangrove pada bagian ini terletak dibelakang mangrove
terbuka yang didominasi oleh spesies Rhizophora dan Bruguiera
c.
Mangrove darat
Terletak
dibelakang mangrove tengah yang merupakan daerah perbatasan laut dan darat.
Pada daerah ini ditemukan spesies Xylocarpus.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat di kawasan Desa
Hutamonu kabupaten Boalemo, dapat dikesimpulkan sebagai berikut:
1.
Di
Kawasan Desa Hutamonu pada lokasi penelitian terdapat 8 spesies mangrove yakni Rhizophora mucronata Lamk, Rhizophora apiculata Blume, Sonneratia caseolaris (L) Eng, Avecenia marina (Forks) Vierh, Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk, Ceriops decandra (Griff) Ding Hou, Sonneratia alba J.E. Smith dan Xylocarpus granatum Keon (niri).
2.
Berdasarkan
Indeks Nilai Penting (INP) struktur vegetasi hutan mangrove untuk tingkat pohon
dan semai didominasi oleh spesies Rhizophora
mucronata Lamk dengan nilai 100,62% dan 132,32%, sedangkan untuk tingkat
pancang spesies Rhizophora apiculata
Blume dengan nilai 120,86%.
3.
Berdasarkan
Indeks Keanekaragaman (ID) struktur vegetasi mangrove berada pada kondisi yang
kurang baik atau indeks keanekaragamanya rendah (nilai H' < 1).
B.
Saran
Dari hasil
studi ini diketahui bahwa komunitas mangrove di daerah kajian sudah mengalami kerusakan, oleh karena itu konservasi hutan mangrove
sangat perlu di perhatikan dalam upaya pencegahan dan penyelamatan pantai dan
sekitarmya dari perkiraan bencana yang mungkin datang disekitar pantai. Salah
satu upaya pencegahan dan penyelamatan lingkungan pantai adalah dengan
penanaman dan pelestarian tanaman mangrove disepanjang garis pantai yang datar
dan landai dengan memperhatikan habitat dan tingkat keaneragaman spesies
mangrove. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa ekosistem mangrove dapat di
masukkan sebagai salah satu ekosistem pendukung kehidupan penting yang perlu
dipertahankan dan di perluas kelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Agus,
Muhamad. 2008. Analisis Carryng Capacity Tambak
Pada Sentra Budidaya Kepiting Bakau (Scylla
Sp) Di Kabupaten Pemalang – Jawa Tengah. (Online) (http://www.google.com/
rl?sa=t&source=web&cd=
17&ved=0CEQQFjAGOAo&url=http%3A%2F%2Feprints.undip.ac.id%2F18247%2F1%2FMuhamad_Agus.pdf, diakses 18 Desember 2010).
Arief, Arifin. 2003. Hutan
Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisus
Bengen,
Dietriech. 2002. Pengenalan dan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove. IPB: Bogor
Ezwardi, Ivan.
2009. Struktur Vegetasi Dan Mintakat Hutan Mangrove Di Kuala Bayeun Kabupaten
Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (online) (http://dydear.multiply.com/journal/item/15/Analisa_Vegetasi. diakses 17
Juni 2010).
Fachrul, Melati Ferianita. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara
Fauziah,
Yuslim., Nursal dan Supriyanti. 2004. Struktur
Dan Penyebaran Vegetasi Strata Sampling Di Kawasan Hutan Mangrove Pulau
Bengkalis Provinsi Riau. Jurnal
Biogenesis (Online) Jilid I No. I. (http://biologi-fkip.unri.ac.id/karya_tulis/yuslim.pdf
diakses 10 Agustus 2010).
Indriyanto.
2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi
Aksara
Irwanto. 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengolahan Kawasaaan
Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Tesis Program Studi Ilmu Kehutatan, Jurusan Ilmu-Ilmu Pertanian. (Online), (http://miftahhurrahman.googlepages.com/Analisa_vegetasi_ diseram.pdf, diakses 11
Juli 2010).
Kitamura,
Shozo., Chairil Anwar, Amalyos Chaniago dan Shingeyuki Baba. 2003. Buku Panduan Manggrove Di Indonesia.
Denpasar: Jaya Abadi
Latifah, Siti. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. (Online) http://library.
usu.ac.id/download/fp/hutan-siti12.pdf
diakses 17 Juni 2010).
Ledheng, ludgardis., IPG. Ardhana
dan I Ketut Sundra . 2009. Komposisi dan
Struktur Vegetasi Mangrove Di Pantai Tanjung Bastiankabupaten Timor Tengah Utara
Provinsi Nusa Tenggara Timur. (Online), Jilid 4 No.2. (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/02_ludgardis_edit.pdf diakses 12 Agustus
2010).
Lover, Nature. 2009. Analisis
Vegetasi. (Online) (http://smadapala999. blogspot.
com/2009/10/analisis-vegetasi-anveg.html. diakses 20 Oktober 2010).
Munawar. 2010. Geologi
Ilmu Tanah (Online) (http://munawar-indonesiaraya.
blogspot.com/2010/03/geologi-ilmu-tana.html, diakses 16 Juni 2010).
Noor,
Yus Rusila,. M. Khazali dan IN. N. Suryadipura. 2006. Panduan Pengenalan Manggrove Di Indonesia. Bogor. WI-IP.
Onriza., dan Cecep Kusmana. 2006. Komposisin Spesies Dan Struktur Hutan Mangrove Di Suaka
Margasatwa Di Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Peronema Forestry Science
Journal (Onlie), Jilid 2 No. 1. (http://usupress.usu.ac.id/files/Kehutanan%20_Peronema_%20Vol
_% 202%20No_%201%20April%202006.pdf.
diakses 25 Mei 2010).
Pramudji. 20003. Keanekaragaman Flora Di Hutan Manggrove
Kawasan Pesisit Teluk Mandar, Polewali, Propinsi Sulawesi Selatan: Kajian
Pendahuluan. (online) (http://cmsdata.iucn.org/downloads/ecological_
mangrove_restoration_bahasa_indonesia__72_dpi_.pdf. diakses 11 Mei 2010).
Risnandar. 2009. Vegetasi Mangrove di Indonesia. (Online)
(http://www.
baligreen.org/vegetasi-mangrove-di-indonesia.html, diakses 15 Mei 2010).
Rochana, Erna. 2001. Ekosistem Manggrove Dan Pengolahannnya Di Indonesia. (online) (http://www.freewebs.com/irwantomangrove/ mangrove_kelola.pdf. diakses 15
Mei 2010).
Setyawan, Ahmad
Dwi., Indrowuryatno., Wiryatno. 2005. Tumbuhan
Manggrove Di Pesisir Jawa Tengah : 2 Komposisi Dan Struktur Vegetasi.
Jurnal Biodiversitas (online), Jilid 6
No. 3. (http://biologi-fkip.unri.ac.id/karya_ tulis/struktur_ vegetasi.pdf. diakses 18
Mei 2010).
Suhardjono dan
Rugayah. 2007. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove Di Pulau Sepanjang Jawa Timur.
Jurnal Biodiversitas (Online), Jilid 8 No. 2. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/
123456789/ 5807/1/ 057004020. pdf.
dakses 11 Mei 2010).
Supriharyono. 2000. Pelestariran Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Syamsuddin., Rahim Husain, Sri
Nuryatin Hamzah. 2008. Analisis Struktur
Dan Komunitas Manggrove Primer Dan Sekunder Di Pulau Monduli Kabupaten Boalemo
Propinsi Gorontalo. Gorontalo. UNG.
Utami, Sri. 2010. Struktur dan Komposisi Vegetasi Habitat
Julang Emas (Aceros Undulatus) Di Gunung Ungaran Jawa Tengah (Online) ( http://staff. undip.ac.id/biologi/sri_utami/2010/07/21/struktur-dan-komposisi-vegetasi-habitat-julang-emas-aceros-undulatus-di-gunung-ungaran-jawa-tengah/. Diaskses 18 desember
2010).
Zaitunah, Anita. 2005. Meninjau Keberadaan Hutan Manggrove Di
Indonesia. Makalah Individu
Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian
Bogor Sem Genap 2005. (Online) (http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/10245/anita_zaitunah.pdf. diakses 20 Mei
2010).